Jumat, 29 Juni 2012

RUMPUT LAUT INDONESIA, TANTANGAN DAN PELUANG

Pengalaman saya selama tiga tahun sebagai seorang peneliti rumput laut, saya rasa tidak cukup untuk menulis artikel ini. Namun saya coba beranikan, dengan harapan mendapatkan respon dan memberikan masukan dalam pengembangan Industri rumput laut Indonesia.

Indonesia adalah negara penghasil rumput laut terbesar di Dunia, Negara Asia dan Asia Tenggara adalah negara dengan produksi rumput laut terbesar di Dunia atau mencapai 99,8% total produksi rumput laut budidaya dunia. Pada Grafik diperlihatkan produksi budidaya rumput laut Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya

Kontribution Asia and East Asia Contry on Culture Seaweed
Bagaimana kesiapan Indonesia sebagai negara penghasil produksi rumput laut. Jika dibandingkan dengan Filipina. Filipina merupakan sumber bibit rumput laut Indonesia, mereka memiliki kebun bibit rumput laut, namun Indonesia, sampai sekarang kayaknya belum ada,, atau masih hitungan tangan. Padahal bibit ini sangat penting, kita tidak bisa mengandalkan petani menanam rumput laut dari F kesekiaan yang menjadi rentan penyakit.



Bahkan kita sangat kalah dengan portugal yang sudah mendata produksi rumput lautnya dengan baik, kita bisa melihat ke linklhttp://macoi.ci.uc.pt/. Disana mereka benar-benar melakukan penelitian dan pendataan rumput laut yang sangat baik, data sangat lengkap dan terin formasi dengan baik. Lebih hebat lagi Malayseia, mereka malah memiliki data rumput laut yang baik, tapi yang diceritakan rumput laut Indonesia, coba aja di googling, hebat pokonya.

Sudah kelihatan sekali data dan in formasi yang tidak ter-integral memberikan informasi dan nantinya akan menjadi penyebab terhalang-nya perkembangan rumput laut Indonesia.


AGAR-AGAR / KANTEN /

Kanten is Japanas name for Agar-Agar. Agar is hydrocolloid or gelatinous material derived by boiling Red Seaweed e.g. Gracillaria and Gelidium.This gelatinous material is accumulate in cell wall or thallus of agarophyte.

In Oriental country like China, Japan, and Korea, Gracillaria and Gelidium is a source sea vegetable with high contain of fiber and iodin. Agar is a gel in room temperature, Why is the agar special than other gelling substance. Agar belived not only good as gelling agent but also have good benefict for body.

In Indonesia, Gracillaria is culture around jave sea (Utara Jawa), like in Brebes, Bekasi and also in Serang. The Gelidium are growth wild in. Selatan Jawa, e,g Jogja. In Indonesia agar produce with tradicional method into leaf agar (agar kertas).
Sun Drying Pressed Filtrat to Produce Traditional Agar

Leaf Agar Are Being Packed

Kitin/Kitosan, Chitin and Chitosan


 Kitin dan Kitosan
Kitin adalah polisakarida struktural yang banyak ditemukan di alam, senyawa ini pertama kali diisolasi tahun 1811 oleh Brocannot dari jamur, kemudian pada tahun 1823, Odier menemukan bahwa senyawa ini merupakan bahan utuma penyusun rangka luar dari serangga dan diberi nama kitosan (Winterowd dan Sandford, 1995). Senyawa ini banyak ditemukan pada fungi dan yeast, serangga dam crustacea namun hanya yang berasal dari crustacea yang menjadi sumber utama (Rinaudo et al., 2005). Cangkang crustacea sebagai salah satu sumber utama kitin mengandung 20-30% khitin dan dan biasanya berikatan dengan bahan lain dari cangkang (Agullo et al., 2003).
2.8.1. Struktur dan sifat kitin, kitosan
Kitin merupakan polimer dengan berat molekul besar, yaitu gugusan dari 2-acetamido-2deoxy-D-glucopiranosil dengan ikatan β-(1→4) (BeMiller, 1965). Kitin memiliki struktur yang hampir sama dengan selulosa, perbedaanya terletak pada atom C2 yang berikatan dengan amin, sedangkan selulosa berikatan dengan gugus hidroksil (Bonderias et al., 2005).
Kitin secara alami ditemukan dalam tiga bentuk yaitu α, β, γ, parameter ini diuji dengan sinar X. Bentuk α dan γ kitin adalah unit yang antiparalel, serta paling banyak ditemukan di alam dan β kitin adalah struktur yang paralel (Hudson dan Jenkins, 2002). Kitin punya dua gugus hidroksil pada atom C3 dan C6 pada polimer N-asetil-g-glukosamine. Gugus OH pada C6 lebih reaktif dari C3, senyawa ini tidak larut dalam asam organik (Hirano, 2005).
Kitosan memiliki struktur linear yang terdiri dari 2-amino-2 deoxy-β-dglucopyranan (β–d-glukosaminan) yang dihubungkan dengan rantai (1→4) (Hirano, 2004). Kitosan merupakan kitin yang terdeasetilasi minimal 50 % sehingga 50% amin terbebas (Rinaudo et al., 2005). Sifat dari kitosan sangat tergantung pada derajad deasetilasi dan berat molekul. Kitosan larut dalam larutan asam organik dan membentuk kation. Gugus amin dari kitosan mempunyai pKa 6,5 sehingga membutuhkan pH di bawah 6 untuk melarutkan kitosan (Hudson dan Jenkins, 2002). Struktur kitin, kitosan ditampilkan pada Gambar 2.
2.8.2. Proses ekstraksi kitin dan kitosan
Kitin dan kitosan umunya diekstrak dari karapas udang dengan cara penghilangan protein dan mineral dengan menggunakan asam dan basa kuat, cara ini merupakan cara yang efektif dan umumnya digunakan pada dunia industri, namun metoda ini memiliki kelemahan yaitu tidak sesuai dan mampu merusak produk akhir, terutama pada peningkatan suhu saat pemanasan. Pada tahap awal perlakuan dengan basa akan memungkinkan terjadinya kondensasi aldol, sedangkan ketika perlakuan dengan asam menyebabkan pemecahan ikatan dari kitosan akibat terhidrolisisnya ikatan β-glikosidik pada rantai kitin. Sehingga cara ekstraksi kitin dan kitosan dengan pre-conditioned sangat cocok untuk mengekstraksi kitin dan kitosan (Toan et al., 2005).

Gambar 2. Struktur kimia (a) kitin, (b) kitosan (Hirano, 2005)

Tahapan ekstraksi kitin dapat dibagi ke dalam tahap pre-treatmen, demineralisasi, deproteinasi, dilanjutkan dengan tahap deasetilasi kitin untuk memperoleh kitosan
1. Pre-treatment
Pada metoda reguler (umum) tidak menggunakan tahap pre-treatmen, dimana udang langsung dilakukan tahap proteinasi atau demineralisasi dengan metode pre-conditioned karapas udang diberi perlakuan pre-treatmen dengan merendam karapas menggunakan asam benzoat 0,016 mlL-1 selama 8 jam suhu 30oC (Toan et al., 2006).
2. Demineralisasi
Jika menggunakan metode pre-conditioned tahap demineralisasi dilakukan dengan cara merendam udang yamg telah di pre-treatmen dengan menggunakan larutan HCl 0,68 molL-1 dengan perbandingan (1:5 w/v) pada suhu ruang selama 6 jam. Sedangkan jika menggunakan cara yang umum digunakan HCl dengan konsentrasi 1,1 molL-1 dan waktu perendaman 12 jam (Toan et al., 2006).
3. Deproteinasi
Pada metode pre-conditioned tahap deproteinasi dilakukan dengan cara merendam karapas udang yang telah didemineralisasi dengan menggunakan NaOH 0,62 mlL-1 pada suhu ruang selama 16 jam, sedangkan jika menggunakan metoda yang umum biasanya menggunakan NaOH 1 molL-1 selama 24 jam (Toan et al., 2006).
4. Deasetilasi
Deasetilasi kitin dilakuakn untuk memperoleh kitosan dilakukan dengan cara memanaskan kitin dalam larutan NaOH 12,5 molL-1 selama 20 jam dengan menggunakan suhu 65oC (Toan et al., 2006). Diagram alir pembuatan kitin dan kitosan ditampilkan pada Gambar 3.
2.8.3. Kegunaan kitin dan kitosan
Kitin berguna sebagai bahan utama prekusor dari kitosan, sifat unik yang dimiliki oleh kitin dan kitosan membuat aplikasi kitin dan kitosan sangat luas (Hudson dan Jelins, 2001). Aqullo et al (2003), melaporkan penggunaan kitosan dalam industri edible film, imobilitas enzim, bahan antimikroba, sebagai zat tambahan makanan (meliputi stabilitator warna, emulsifier, antioksidan, pembentuk gel), serat makanan (sebagai penyerap lemak, dialisis glukosa), sebagai astrigensi (pengendap protein air liur). Beberapa aplikasi kitin dan kitosan yang lain lebih lengkap tampilkan pada Tabel 4.

Gambar 3. Diagram alir ekstraksi kitin dan kitosan (Toan et al., 2006)






Tabel 4. Aplikasi kitin, kitosan dan turunanya
Bidang Kitin dan Kitosan Turunan
Pangan Antimikrobia
Edible film Bahan pengental
Pharmaceutical Pencegahan terhadap bakteri
Antitumor
Imune potensiator
Perban luka Pencegahan infeksi bakteri
Antitumor
Imunpotensiator

Medis Mempercepat pengeringan luka
Kulit buatan
Absorbabls sutues
Nutrisi Serat
Hypokolestremik agen Hypokolestremik agen
Penyerap kalsium
Bioteknologi Imobiliasasi sel
Poros beads bioreaktor
Resin kromotografi
Membran
Pertanian Coating bibit
Aktifator sel tanaman Aktifator sel tanaman
Lain-lain Koagulan
Penghilang logam berat
Penggabung protein
Kosmetik
Sumber : Jeon et al (1999) dalam Oshima (2002)

Rabu, 27 Juni 2012

PROSES PEMBEKUAN FILLET IKAN KURISI BALI (Pristipomoides typus) DI PT UJUNG TIMUR, SIDOARJO-JAWA TIMUR



Agusman1, Eddy Suprayitno2

Abstrak
            Ikan kurisi bali (Pristipomoides typus) termasuk jenis ikan kekakapan yang belum termanfaatkan secara optimal dibandingkan dengan kakap merah. Jenis ikan ini sudah terkenal di pasar domestik dan manca negara  dengan harganya yang cukup tinggi. Permasalahan dalam pemanfaatan ikan kurisi bali ini adalah sifatnya yang mudah rusak, oleh karena itu ikan kurisi bali biasanya diolah terlebih dahulu dalam bentuk fillet beku.
            Tahapan pengolahan fillet ikan kurisi  bali di PT Ujung Timur meliputi tahapan penerimaan bahan baku, penimbangan gross weight, pencucian I, penyisikan, pencucian II, pemfilletan, perapihan dan penghilangan duri, pencucian III, pengkoreksian, pemotongan, sizing, penimbangan aktual, pencucian IV, pencuaian V, pengemasan I, penyusunan dalam inner pan, pembekuan, glazing, pengemasan II dan pelabelan, penyimpanan beku, stuffing.

FROZEN GOLD BAND SNAPPER (Pristipomoides typus) FILLET

PROCESSING AT PT UJUNG TIMUR, SIDOARJO, EAST JAVA

Agusman1, Eddy Suprayitno2

Abstrac
            Gold band snapper is include the family of Lutjanidae fish which is not exsploration well then red snapper. The problem of  fish product, include gold band snapper is kind the perishable food, because of that, this fish ussually exsport in frozen fillet.
            They are several phases in processing frozen gold band snapper fillet at PT Ujung Timur Sidoarjo. The phases are receiving raw material, gross weight, washing I, scalling, washing II, filleting, trimming and debonning, washing III, corection, cutting, sizing, actual weight, washing IV, washing V, packing I, panning, freezing, glazing, packing and labelling, cold storage and stuffing.   
1. Penulis, 2. Dosen pembimbing
           

I. PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang
 Sektor perikanan Indonesia memiliki potensi yang cukup besar serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Potensi perikanan laut Indonesia di perkirakan sebesar 6,7 ton per tahun yang terdiri dari sumber daya perikanan di perairan Nusantara 4,4 juta ton per tahun dan perairan Zona Ekonomi Ekslusif 2,3 juta ton pertahun  (Iqbal, 1997). Tetapi tingkat pemanfaatanya baru sekitar 65%, oleh karena itu pemanfaatanya perlu ditingkatkan (Resosudarmo dkk., 2002). Salah satu jenis ikan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai produk ekspor adalah kurisi bali (Pristipomoides typus).
Ikan kurisi bali merupakan jenis ikan kekakapan (famili Lutjanidae) yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan ikan kurisi bali merupakan jenis kakap paling mahal di Singapura dibanding jenis kakap lainnya seperti kakap merah, blambangan (Badrudin dkk., 2003).
Masalah dalam pengolahan produk perikanan ini adalah sifatnya yang mudah rusak. Oleh karena itu ikan kurisi bali biasanya diekspor keluar negeri dalam bentuk fillet beku.
1.2.  Tujuan
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui proses pembekuan fillet ikan kurisi bali.
1.3. Tinjauan Pustaka
Kurisi bali memiliki nama Internasional Job Fish (De Bruin et al., 1995) dan Gold Band Snapper (Badrudin dkk., 2003). Ikan kurisi bali sering digolongkan dalam jenis ikan lencam di lapangan (Marzuki dan Djamal, 1993).
Ukuran ikan kurisi bali dapat mencapai panjang total  antara 445 mm sampai 970 mm (Karyaningsih dkk., 1993). Kurisi bali termasuk ikan demersal dengan kedalaman 90 - 160 m, menghabiskan waktu mencari makan dan hidup dalam grombol besar (De Bruin     et al., 1995). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kurisi bali adalah pancing rawai dasar, bubu dan trawl dasar (Badrudin dkk.,  2003). 
Prinsip dasar dari pembekuan ikan adalah mengenyahkan panas dari ikan dengan waktu yang lebih singkat sehingga ikan tidak mengalami perubahan mutu yang berarti (Ilyas, 1993).
Pembekuan dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu pembekuan lambat (slow freezing) dan pembekuan cepat (quick freezing). Keuntungan dalam menggunakan pembekuan cepat antara lain mencegah pembusukan oleh bakteri, mempertinggi produktivitas, memungkinkan penggunaan ban-ban berjalan dan peralatan otomatis, memungkinkan pemakaian freezer secara maksimum, bisa menghasilkan produk yang terkemas seragam dan berpenampilan menarik serta produksi menjadi lebih tinggi. Sedangkan cara pembekuan lambat (slow freezing) secara umum hasilnya tidak sebaik cara pembekuan cepat (Moeljanto, 1992).
1.4. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di PT Ujung Timur, Sidoarjo, Jawa Timur.

 II. METODOLOGI 


Metode pengumpulan data dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengumpulan data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh kemudian diinterprestasikan secara sistematis dengan metode deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Lokasi Perusahaan dan Keadaan Sekitar
PT Ujung Timur dilengkapi dengan surat Izin Usaha Pengolahan                 Ikan nomor 503/4007/114.005/1998      dan Surat Pengolahan Ikan nomor 503/127/118.005/2003. Perusahaan memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) nomor 296/PP/PB/111/8/02 sebagai persayaratan dasar untuk penerapan HACCP.
Perusahaan pembekuan ikan            PT Ujung Timur terletak di Jl Gatot Subroto, Desa Tebel, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo-Jawa Timur. Dari kota kabupaten, PT Ujung Timur berjarak kurang lebih 10 km. Dengan batasan wilayah,  sebelah Selatan adalah Desa Karangbong;  sebelah Utara dengan Desa Tebel, sebelah Timur dengan PT Anugerah Mandiri; sebelah Barat dengan PT Umbra Parsia. PT Ujung Timur mempunyai luas areal ± 9.800 m2 dengan luas bangunan keseluruhan ± 8.023 m2.
Wilayah Desa Tebel banyak terdapat perindustrian, namun industri perikanan di daerah Tebel berupa usaha pembekuan saja, yaitu hanya  PT Ujung Timur dan pabrik pengolahan udang. Usaha perikanan skala rumah tangga tidak berkembang di daerah sekitar Desa Tebel, hal ini disebabkan karena jauhnya sumber bahan baku.
3.2. Sarana Produksi
Sarana produksi yang dimiliki oleh   PT Ujung Timur meliputi fasilitas bangunan dan fasilitas produksi.
3.2.1.  Fasilitas bangunan
Luas bangunan PT Ujung Timur secara keseluruhan kurang lebih  8023 m2, terdiri dari bangunan utama dan bangunan penunjang. Bangunan utama meliputi kantor, unit produksi pembekuan kakap merah (konvensional), unit produksi VAP (value added product). Sedangkan bangunan penunjang terdiri dari ruang administrasi, bengkel, ruang ganti, musholla, koperasi, toilet, ruang istirahat, rumah mesin dan satu unit bangunan untuk mengolah limbah.
3.2.2. Fasilitas produksi
Fasilitas produksi pembekuan ikan kurisi bali yang dimiliki PT Ujung Timur, Sidoarjo diantaranya adalah pan pembekuan, kerajang, contac plate freezer, air blast freezer, cold storage dan sebagainya.
3.3. Poses Produksi
Proses pembekuan fillet ikan kurisi bali meliputi 21 tahap :
1.  Penerimaan bahan baku
Ikan diterima dari pemasok di ruang penerimaan bahan baku dan ikan langsung dibongkar menurut urutan datangnya. Pembongkaran dilakukan dengan cara membuka tutup blong atau cool box kemudian dibongkar di meja penerimaan (pembongkaran) dan dilakukan pemisahaan ikan dengan es. Sortasi dilakukan berdasarkan standar mutu organoleptik dan memiliki berat lebih dari 1 kg per ekor. Standar mutu organoleptik bahan baku fillet ikan kurisi bali di PT Ujung Timur disajikan dalam Tabel 1. Penerimaan bahan baku dapat dilihat pada Lampiran.
Tabel 1.  Standar mutu bahan baku berdasarkan organoleptik

Organoleptik
Spesifikasi
Tekstur daging
Tekstur daging ikan masih lemas atau kaku. Jika daging ditekan dengan jari maka akan kembali ke bentuk semula .
Warna kulit
Warna kulit sesuai dengan spesifikasi jenis ikan, warna masih cerah. 
Mata
Mata masih bening dan bola mata masih menonjol atau datar
Bau
Bau segar sesuai dengan spesifikasi jenis ikan atau berbau amis khas ikan
Sumber: Bagian Quality Control, PT Ujung Timur, 2003  
Berdasarkan SNI 01-2696.1-1992 tentang Persyaratan Bahan Baku Fillet Kakap Beku bahwa bahan yang digunakan dalam pengolahan fillet kakap beku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat alami lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.
2.  Penimbangan gross weight
Keranjang yang berisi ikan dimasukkan ke ruang proses lewat pintu masuk kecil yang diberi plastik curtain untuk dilakukan penimbangan gross weight. Penimbangan gross weight berguna untuk menentukan berat total ikan
3.  Pencucian I
Ikan dicuci dengan air dingin suhu 0oC - 5oC yang mengandung klorin 20 ppm. membersihkan ikan dari sisa-sisa kotoran darah, benda asing dan mengurangi jumlah bakteri. Pencucian dilakukan dengan cara menyiram ikan di dalam keranjang sebanyak dua kali penyiraman.
Menurut Moedjiharto (1987) pencucian ikan dengan air dingin yang mengandung klorin akan menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih melekat dan juga untuk mengurangi kandungan mikroorganisme yang ada.
Lane (1974) dalam Moedjiharto (1987) bahwa air yang bersentuhan langsung dengan produk harus memiliki kandungan klorin maksimal sebesar 10 ppm. Penggunaan klorin yang melebihi 10 ppm dapat menyebakan residu klorin yang bisa merugikan kesehatan manusia (Jenie, 1988).
4.  Penyisikan
Ikan disisik dengan alat penyisik ikan secara manual. Jika ikan ditujukan untuk fillet skinless maka ikan tidak disisiki. Ikan di meja penyisikan diberi es dengan perbandingan  10 kg es untuk 10 kg ikan bertujuan menghambat pertumbuhan bakteri. Menurut Bonnel (1993) untuk daerah bersuhu panas (tropis) diperlukan es untuk mendinginkan ikan dengan perbandingan es dan ikan 1:2. Proses penyisikan dapat dilihat pada Lampiran.
5.  Pencucian II
Setelah ikan disisiki, ikan di cuci dengan air dingin suhu 0oC - 5oC  yang diberi larutan klorin 10 ppm, pencucian dilakukan dengan cara memasukan ikan ke dalam bak pencucian yang berisi air pencucian dan dibolak-balik beberapa kali. Kemudian diangkat dan dimasukan ke dalam keranjang. Ikan di dalam keranjang diberi es dengan perbandingan 1:1, hal ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang terdapat pada ikan .
Menurut Marriot (1994) dalam Moedjiharto (1987), bahwa dengan penambahan klorin 5-10 ppm dan perlakuan suhu rendah 10oC sampai 25oC akan dapat mereduksi jumlah bakteri hingga 99% dalam waktu 10 sampai 120 menit.
6.  Pemfilletan
Ikan difillet dengan cara disayat dari bagian belakang sirip pektoral melingkar bagian belakang kepala, dilanjutkan dengan pemotongan dari arah belakang kepala menuju ekor sejajar tulang belakang. Pemotongan dilanjutkan ke arah perut sehingga sayatan daging terpisah. Untuk sisi yang satunya ikan disayat dari bagian belakang sirip pektoral melingkar bagian belakang kepala, lalu disayat dari bagian ekor lurus searah tulang belakang sampai ke bagian belakang kepala. Penyayatan dilanjutkan hingga diperoleh potongan daging terpisah. Pemfilletan dapat dilihat pada Lampiran.


7.   Perapihan (trimming) dan pembuangan duri         
Fillet dirapikan dengan cara memotong sedikit daging perut dan bagian ekor. Pembuangan duri yang terdapat di sejajar garis tulang belakang dengan menyayat tipis daging dengan pisau tajam bentuk huruf ”V”, sayatan daging kemudian dibuang sehingga duri terbawa dengan sayatan daging tipis. Tumpukan daging fillet di meja perapihan (trimming) selalu diberi es dengan perbandingan 1:1, sedangkan fillet yang sudah dirapikan dan dibuang durinya dilanjutkan dengan pencucian.
Dengan pemberian es dapat menjaga suhu ikan mendekati 0oC (Bonnel, 1993). Pada suhu 15oC mikroba terhambat pertumbuhanya dan pada suhu 4oC akan menyebabkan inaktif mikroba (Winarno dan Surono, 2002)
8.  Pencucian III
Fillet dicuci dengan air dingin suhu 0oC - 5oC dengan konsentrasi klorin 5 ppm, untuk membunuh bakteri dan mengurangi kotoran berupa sisa-sisa sisik, darah atau berkas potongan daging. Pencucian dilakukan dengan cara memasukan fillet kedalam bak pencucian lalu diangkat dan dimasukkan ke dalam keranjang.
Penggunaan klorin 5 ppm bertujuan supaya residu klorin tidak terlalu besar karena daging telah terbuka. Penggunaan klorin yang terlalu besar dapat merugikan kesehatan manusia (Jenie.1988).
Menurut Hadiwiyoto (1993) klorinasi 5-10 ppm mampu mengurangi jumlah bakteri dan membunuh bakteri patogen seperti Sallmonella.
9.  Koreksi
Selanjutnya fillet diperiksa dari sisa-sisa duri atau jika masih ada fillet yang terlewat tahap perapihan. Bagian fillet yang berkulit (skin on fillet) disisir dengan alat penyisir khusus sehingga permukaan fillet yang berkulit terlihat rapih. Tahap koreksi dapat dilihat pada Lampiran.
10.  Pemotongan
Secara umum ada tiga jenis fillet yang dihasilkan di PT Ujung Timur yaitu natural, one cut, portion. Bentuk natural adalah bentuk fillet satu sisi ikan, one cut adalah fillet natural yang dipotong menjadi dua bagian, sedangkan bentuk portion adalah fillet natural yang dipotong menjadi tiga bagian. Di PT Ujung Timur  fillet ikan kurisi bali biasanya dipotong menjadi bentuk portion dan one cut .
11.  Sizing
Standar size dan berat fillet ikan kurisi bali di PT Ujung Timur disajikan dalam Tabel 2.



Tabel 2.  Size dan berat fillet ikan      kurisi bali   

SIZE
BERAT FILLET (g)
4-6
112-169
6-8
170-230
8-10
231-290
10-12
291-350
12-14
351-400
14-16
401-460
16-20
461-570
Sumber: Bagian Produksi, PT Ujung Timur, 2003  
12.  Timbangan aktual
Tahap ini sangat berguna untuk menghitung rendemen produk. Fillet ikan kurisi bali biasanya memiliki rendemen 44% - 46%.
13.  Pencucian IV
Fillet dicuci dengan air dingin suhu 0oC - 5oC dengan konsentrasi klorin          5 ppm. Pencucian dilakukan dengan cara memasukkan keranjang yang berisi fillet ke dalam bak pencucian sambil digoyang-goyang 2-3 menit lalu diangkat.
Menurut Hadiwiyoto (1993) klorinasi 5-10 ppm mampu mengurangi jumlah bakteri dan membunuh bakteri patogen seperti Sallmonella.
14.  Pencucian V
Fillet dicuci kembali dengan air dingin suhu 0oC-5oC tanpa menggunakan klorin, pencucian ini bertujuan untuk mereduksi residu klorin. Pencucian dilakukan dengan cara memasukan keranjang yang berisi fillet ke dalam bak pencucian sambil digoyang-goyang 2-3 menit. Pencucian tanpa klorin ini bertujuan untuk menguragi residu klorin setelah pencucian IV.
Hasil penelitian di Amerika juga menunjukan bahan kimia dari unsur organik klorin yang disebut MX cukup beresiko menyebabkan berbagai penyakit kanker, hal ini telah terbukti dari binatang coba yang digunakan (Anonymous, 1997 dalam Moedjiharto, 1987)
15.  Pengemasan I
Fillet dibungkus dengan meng-gunakan plastik polietilen kerapatan rendah dengan ketebalan plastik 2,5 10-2 mm. Pembungkusan ini bertujuan supaya fillet tidak kena karat dan mencegah dehidrasi serta oksidasi selama pembekuan.
  Sebelum fillet ikan dibekukan, fillet dikemas dengan lembaran plastik atau kertas kaca yang mampu melindungi fillet dari perubahan yang tidak diinginkan selama pembekuan dan penyimpanan beku (Moeljanto, 1992). Fillet sebaiknya dibungkus dengan plastik film (polietilen kerapatan rendah untuk mencegah penguapan produk dan oksidasi produk selama pembekuan   (Tanikawa, 1971).
Plastik polietilen kerapatan rendah merupakan plastik yang baik terhadap penahan air, tetapi tidak baik terhadap gas (Fellows, 1990).

16.  Penyusunan dalam pan
Fillet disusun dalam pan (inner pan) pembekuan yang terbuat dari alumunium dengan permukaan daging fillet yang ada kulitnya di atas. Penyusunan fillet hanya satu lapis saja, hal ini dimaksudkan agar daging fillet beku yang dihasilkan mempunyai penampilan rapi, halus, lurus dan rata.
17.  Pembekuan
Pan pembekuan kemudian disusun di rak-rak pembekuan untuk segera dibekukan dengan air blast freezing dengan suhu –35oC sampai -40oC selama kurang lebih 8-9 jam. refrigeran yang digunakan adalah amoniak (NH3).
Kelebihan dari penggunaan air blast freezing adalah kecocokan dan keluwesannya akan produk. Tipe pembekuan ini dapat membekukan segala macam produk, dengan deret luas dalam bentuk, mudah pengoperasianya (Ilyas, 1993). Kelemahan dari cara pembekuan dengan air blast freezing adalah terjadinya pengeringan produk, apalagi bila produk tidak dibungkus dan kecepatan udara cukup tinggi (Moeljanto, 1992).
Penggunaan amoniak sebagai refrigerant mempunyai beberapa keunggulan diantaranya murah dibanding refrigerant lainnya, mudah diperoleh, stabil, pemindahan dalam volumetrik rendah, ringan, efisiensi tinggi.           (Ilyas, 1993). Bila tejadi kebocoran mudah diketahui, karena baunya yang sangat menusuk hidung, zat ini mudah sekali larut dalam air sehingga tidak mengganggu mata, hidung dan paru-paru (Moeljanto, 1992).
Menurut Syarif dan Kumendong (1992) agar produk punya mutu yang tinggiu maka dilakukan pembekuan cepat dengan menggunakan suhu -24oC sampai  -40oC. Hal ini bertujuan untuk mengurangi keluarnya garam-garam mineral dan zat gizi lainnya selama proses pembekuan. Disamping itu pada suhu dibawah -18oC akan mengurangi kerusakan secara mikrobiologi (Buckle et al., 1987).
18.  Glazing
Pan-pan pembekuan dikeluarkan dari air blast freezing dan fillet ikan kurisi bali beku dilepas dari pan pembekuan. Di PT Ujung Timur untuk fillet ikan jenis kakap merah, bagong dan krapu tidak dilakukan pembukaan bungkus plastik sehingga tidak perlu dilakukan glazing. Hal ini dilakukan karena pada pengemasan II dilakukan pengemasan vakum. Sedangkan Fillet kurisi bali dilakukan pembukaan kemasan plastik. Fillet ditimbang seberat 10 lbs atau 4,54 kg ditambah ekstra weight 250 gram. Selanjutnya fillet di-glazing dengan cara mencelupkan keranjang berisi fillet yang telah ditimbang ke dalam air dingin suhu 0oC sampai  5oC sambil digoyang-goyang. Setelah itu fillet ditimbang ulang, jika berat fillet dalam keranjang sudah melebihi 5 kg baru glazing dianggap selesai, tetapi jika berat fillet masih dibawah 5 kg dilakukan glazing ulang atau glazing fillet beku sebesar 11%.
Setelah proses pembekuan fillet dicelupkan kedalam air dingin  bersuhu lebih rendah dari 5oC selama 3-5 menit. Pencelupan pada air dingin akan menimbulkan lapisan es tipis yang menutupi seluruh permukaan tubuh ikan beku. Glazing memiliki keuntungan mengurangi terjadinya dehidrasi selama penyimpanan beku, mencegah oksidasi dan memberikan penampakan yang lebih menarik pada fillet beku (Hadiwiyoto, 1993). Tebal glazing pada fillet biasanya berkisar antara 2%-14% (Murniyati dan Sunarman, 2000)
19.  Pengemasan II dan pelabelan
Fillet yang telah di-glazing dikemas ke dalam plastik polietilen kerapatan tinggi dengan ketebalan 3,5 10-1 mm sebanyak 5 kg per plastik, lalu di-sealling (kemasan primer). Menurut Fellows (1990) polietilen kerapatan tinggi merupakan plastik yang kuat, agak kaku, memiliki permeabilitas yang lebih rendah terhadap gas dan air. 
Fillet beku dikemas lagi dalam inner carton (kemasan sekunder). Tiap-tiap inner carton yang berisi jenis serta ukuran filletnya sama dikemas dalam master carton (kemasan tersier),  satu master carton berisi 4 inner carton. Inner carton dan master carton diberi label sesuai jenis fillet, ukuran fillet, berat fillet, tanggal pembekuan, kode produksi, tanggal kadaluarsa. Master carton kemudian ditutup dengan lakban dan diikat pita plastik (strapping band). Pemasangan pita plastik dilakukan empat kali supaya ikatannya kuat.
20.  Penyimpanan beku 
Produk yang telah dikemas di susun  pada gudang beku (cold storage) yang beroperasi dengan suhu –18oC sampai        -20oC. Berdasarkan Code of Practise for Frozen Fish dalam Ilyas (1993), bagi produk ikan beku yang akan digunakan sebagai bahan mentah bagi pengolahan selanjutnya dianjurkan menyimpan dalam gudang beku -18oC atau lebih rendah. Suhu penyimpanan jauh dibawah -18oC dapat memperpanjang daya simpan dari produk beku.
 Karyawan bagian produksi mencatat nomor produksi dari tiap master carton,  dan jumlah master carton yang dimasukan ke dalam gudang beku (cold storage).
21.  Stuffing
Jika volume produk untuk ekspor sudah cukup, perusahaan melakukan ekspor. Pengeluaran produk beku dari penyimpan beku melalui anteroom yang memiliki pintu kecil dan berhubungan dengan luar ruang cold storage. Pada stuffing dilakukan pembongkaran dengan cepat, untuk mempercepat perpindahan barang dibantu dengan roda berjalan (conveyor).  Pada tahap ini sebelum produk disusun dalam kontainer maka kontainer terlebih dahulu didinginkan sampai suhu –18oC. Penyusunan produk dalam kontainer selalu diperhatikan agar pada saat pengangkutan kerusakan produk dapat diminimalisir.
Menurut Ilyas (1993) rantai beku (frozen chain) harus selalu dijaga. Ikan yang diekspor melalui tahap-tahap dalam rantai beku meliputi pembekuan, pemindahan dan penyimpanan dalam gudang, pengangkutan ke pelabuhan atau pemuatan di kapal, hingga sampai ke konsumen, harus senantiasa berada pada tingkat suhu yang ditetapkan, -18oC atau lebih rendah.     
3.5.   Sanitasi dan Higiene
Sanitasi dan higiene  di PT Ujung Timur meliputi sanitasi bahan baku dan bahan pembantu, higiene pekerja, sanitasi peralatan, sanitasi ruang proses dan penanganan limbah.
Sanitasi dapat diartikan sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit. Dalam ilmu industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam persiapan, pengolahan dan pengemasan produk makanan, pembersihan dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan pekerja (Jenie, 1999). 
Yang dimaksud dengan sanitasi bahan baku  adalah menjaga sanitasi ikan yang diterima dari pemasok hingga akan diolah. Sanitasi bahan pembantu meliputi sanitasi dari air yang digunakan, serta penggunaan bahan kimia klorin sebagai desinfektan. Higiene karyawan adalah menjaga  supaya karyawan dan tindakannya tidak menjadi sumber kontaminasi terhadap produk. Sanitasi peralatan dilakukan dengan cara membersihkan alat yang digunakan pada saat akan memulai pekerjaan, sedang dan akhir proses produksi. Untuk sanitasi ruangan proses, dilakukan  pembersihan pada pagi hari, siang hari saat istirahat dan pada sore hari setelah para pekerja pulang.
Limbah yang dihasilkan oleh PT Ujung Timur dalam bentuk padat dan cair. Limbah padat berupa jeroan dan sisik. Limbah ini ditampung di bak sampah kemudian dibuang ketempat pembuangan sampah akhir. Limbah cair merupakan campuran dari darah  ikan, air bekas pencucian. Sebelum limbah dibuang ke selokan terlebih dahulu ditampung di instalasi limbah untuk ditangani lebih lanjut.
Limbah cair yang ditampung kemudian ditambah dengan tawas dan kuriflok, kemudian diaduk-aduk oleh mesin pengaduk. Selesai diaduk didiamkan hingga kotoran padat mengendap di dasar bak dan air kelihatan bening. Air dipindahkan ke bak penampungan dua dengan menggunakan pompa mesin. Pada bak penampungan dua dilakukan pengolahan limbah secara biologi dengan cara menambahkan serat (bakteri holder) dan pupuk urea untuk pertumbuhan bakteri. Biasanya limbah dibiarkan 2-3 hari di bak ini sambil diendapkan dan dialirkan keselokan.
Penanganan limbah pengolahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa tahap meliputi pemisahan mekanis serta fisik (penyaringan dan pengendapan), penaganan secara kimiawi, serta penanganan secara biologi (Buckle et al., 1987). 
3.4. Pengawasan Mutu
Mutu bahan pangan dapat didefinisikan sebagai kelompok sifat, faktor-faktor atau karateristik bahan pangan (komoditas) yang membedakan tingkat pemuas atau aseptabilitas bahan tersebut bagi pembeli atau pengguna. Saat ini standar mutu produk pangan tidak hanya ditetapkan dari produk akhir melainkan juga dilihat mulai dari pengawasan bahan baku, cara-cara memproduksi bahan, meliputi juga aspek manajemen mutu (Syarief, 1994). 
HACCP adalah satu manajemen mutu dengan pendekatan pencegahan terhadap terjadinya kemungkian masuknya bahan cemaran yang berbahaya, terjadinya bahaya, maupun tersebarnya bahaya dalam bahan pangan yang dihasilkan      (Mukartini, 2001).
   Pengawasan mutu di PT Ujung Timur didasarkan pada konsep Hazard Analsysis dan Critical Control Point (HACCP) walaupun penerapannya belum efektif. Pengawasan mutu dilakukan terhadap bahan baku, air, selama proses pengolahan dan produk akhir.
Pengawasan mutu bahan baku dilakukan uji organoleptik (warna warna kulit, tekstur daging, penampakan mata, bau). Disamping itu dilakukan seleksi bahan baku berdasarkan beratnya, ikan yang memiliki berat kurang dari 1 kg akan ditolak.
Pengawasan terhadap mutu bahan pembantu  seperti air dan es dilakukan dengan cara mengujikan air dan es ke LPPMHP Surabaya setiap enam bulan sekali.
Pengawasan  mutu selama proses produksi ditetapkan empat critical control point (CCP) yaitu pada  tahap penerimaan bahan baku,  pengkoreksian, pencucian V, serta  tahap pengemasan II dan pelabelan. Pada kelima tahap ini diberikan pemantauan yang lebih ketat. Critical control point merupakan suatu tahap didalam proses, dimana bila bahaya potensial nyata tidak dikendalikan secara baik kemungkinan akan menimbulkan resiko bahaya yang tidak bisa diterima oleh konsumen, baik menyangkut keamanan, mutu dan kerugian ekonomi     (Wiryanti dan Witjaksono, 2001). Oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan yang teratur mengacu pada konsep pemantauan (monitoring) (Bonnel, 1994).  
Pengawasan produk akhir dilakukan oleh pihak intern perusahaan dan juga dilakukan pengujian pada laboratorium pemerintahan dan swasta.
Tiap hari petugas quality control (QC) melakukan pengecekan penyusutan berat produk, dengan sampling. Disamping itu juga dilakukan pengecekan kebenaran jumlah keping fillet tiap inner carton berdasarkan size.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang pembekuan fillet ikan kurisi bali beku di PT  Ujung Timur, Sidoarjo, dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya
-    Proses pembekuan fillet ikan  kurisi bali di PT Ujung Timur menggunakan I.
-    Fillet terlebih dahulu dibungkus untuk menghindari  terjadinya oksidasi dan losst weight yang tinggi, sebelum dibekukan.
-    Secara umum proses pembekuan  fillet ikan kurisi bali di PT Ujung Timur sudah cukup baik .
-    Pengujian kualitas fillet kurisi bali beku secara mikrobiologi dan kimiawi disajikan dalam Table 3.
Tabel 3.  Kualitas fillet kurisi bali beku

Pengujian
Hasil

S. aureus

<10

Shigella

Negatif
Colifom
9 APM/ml
TVB
13.68 mg/100
Chloramphenicol
Not detected
Timbal (Pb)
0,223 mg/kg
Cadmium (Cd)
0,046 mg/kg
Furazolidone
Not detected

4.2. Saran
Untuk meningkatakan nilai jual dari produk fillet kurisi bali maka perusahaan harus selalu menjaga mutu dari produk yang dihasilkan dengan cara melaksanakan manajemen mutu terpadu secara menyeluruh dan sebaik mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1992. SNI 01-2696.1 Persyaratan Bahan Baku Fillet Kakap Beku. BSN. Jakarta.

Badrudin, B., Sumiono dan E. Rahmat. 2003. Kakap Merah, Jenis-jenis dan Identifikasi Genera. Penebar Swadaya. Jakarta.

Banks, A., A. John., A. Dassow.,  A. Ernest., A. Feiger., F. Arthur., Novak., J.A. Peters., W. Joseph., W. Slawn and J.J. Waterman. 1977. Freezing fish dalam Fundamentals of Food Freezing. Desrosier, W.N and D. K. Tresler (Eds). AVI Publishing Company, INC. Westport, Connecticut

Bonnel. A.D. 1994. Quality Assurance in Seafood Processing. A Pratical and Guide. Chapman & Hall. United State.

Buckle, K.A., R.A Edwards., G.H Fleet and M. Wootoon. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo H dan Adiono (Penerjemah). UI Press. Jakarta.

De Bruin, G.H.P., B.C. Russel and A. Bogousch., 1995. FAO Species Identification Field Guide for Fisheries Purpose. The Marine Fisheries Resources of Sri Lanka. Roma.

Fellows, P. 1990. Food Processing Technology Principles and Practices. Ellis Horswood. England

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Liberty. Yogyakarta.
Ilyas, S. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid II. CV Paripurna. Jakarta.

Iqbal, I.M. 1997. Prospek dan peluang pengembangan produksi perikanan Indonesia. Bulletin Warta Mina No. 89 Tahun X. Departemen Pertanian. Jakarta.

Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Pusat Antar Universitas dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
___________. 1999. Sanitasi dan higiene pada pengolahan pangan dalam Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Johnston, W.A.,  F.J. Nicholson., A. Roger and G.D. Stroud. 1994. Freezing and Refrigerate Storage in Fisheries. FAO Fisheries Technical Paper. Roma

Karyaningsih, S., S. Marzuki dan  R. Djamal. 1993. Beberapa aspek biologi jenis ikan kekakapan laut dalam (Pristipomoides typus) di perairan Timor Timur dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No 78/1993.

Marzuki, S dan R. Djamal. 1993. Pendugaan potensi dan tingkat eksploitasi sumber daya kakap dan jenisnya (Lutjanidae) di perairan Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur.  Jurnal Penelitian Perikanan Laut No 78/1993.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Moedjiharto, T.J. 1987. Teknologi Pembekuan Bekutak (Sephia spp). Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya

Murniyati A.S dan Surnaman. 2000. Pedinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius. Jakarta

Resosudamo, B.P., D. Hartono., T. Ahmad., N.I.L. Subiman., Olivia dan A. Noegroho. 2002. Analisis penentuan sektor prioritas di kelautan dan perikanan Indonesia. Jurnal Pesisir dan Laut Volume 4 No.3, 2002.
Syarif, R. 1994. Standar mutu, teknologi pengemasan dan label makanan dalam Kumpulan Makalah  Rizal Syarief. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
_____ dan J. Kumendong. 1992. Petunjuk Laboratorium Penyimpanan Dingin. PAU Gizi dan Pangan. IPB. Bogor.
Tanikawa, E. 1971. Marine Product in Japan. Koseisha-Koseikakaku Company. Tokyo.
Winarno F.G dan Surono. 2002. HACCP dan Penerapan dalam Industri Pangan. M-Brio press. Bogor.
Wiryanti J dan H Witjaksono. 2001. Konsepsi HACCP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasi).