Sharing Everything : Seafood, Fisheries Biotechnology, Seaweed, Eucheuma cottoni, Eucheuma spinosum, Study, Xiamen University, Brawijaya University, IPB
Rabu, 03 Oktober 2012
Selasa, 18 September 2012
Touched Tao Sifu Homeland on The First Time
It was my first time going abord. China, the homeland of Tao Sifu, was the lucky number one to visited by me. Ha ha. It reverse, I'm lucky have a chance to study in China for a while.
It was took for 8 hour flight to reach Qingdao, an South East China Town belong to Shandong Province. To reach the Qingdao city I had to stop by in Guangzhou City (Baiun Airpot), an metropolitan City in China.
Baiun airport is a big Internationa Airport, I think this aiport is newer than Soekarno Hatta Airport. with ecofriendly design, the aiport is very clean. But I found the minus of this aiport, most of the employe of this airport couldn't speak english well, the pronoucation is worst than me, you know my englih worst also.
Baiun airpot is use glass for the wall, so noo need electric lamp at daylight. Energy saving.
Affter waited for 6 hours in Guangzhou, I continued my flight to Qingdao City. Its took 4 hours to reach Qingdao. We landed at Qingdao 12 pm, so no much can I told you about Tao Airpor
It was took for 8 hour flight to reach Qingdao, an South East China Town belong to Shandong Province. To reach the Qingdao city I had to stop by in Guangzhou City (Baiun Airpot), an metropolitan City in China.
Baiun airport is a big Internationa Airport, I think this aiport is newer than Soekarno Hatta Airport. with ecofriendly design, the aiport is very clean. But I found the minus of this aiport, most of the employe of this airport couldn't speak english well, the pronoucation is worst than me, you know my englih worst also.
Baiun airpot is use glass for the wall, so noo need electric lamp at daylight. Energy saving.
Affter waited for 6 hours in Guangzhou, I continued my flight to Qingdao City. Its took 4 hours to reach Qingdao. We landed at Qingdao 12 pm, so no much can I told you about Tao Airpor
Jumat, 29 Juni 2012
RUMPUT LAUT INDONESIA, TANTANGAN DAN PELUANG
Pengalaman saya selama tiga tahun sebagai seorang peneliti rumput laut, saya rasa tidak cukup untuk menulis artikel ini. Namun saya coba beranikan, dengan harapan mendapatkan respon dan memberikan masukan dalam pengembangan Industri rumput laut Indonesia.
Indonesia adalah negara penghasil rumput laut terbesar di Dunia, Negara Asia dan Asia Tenggara adalah negara dengan produksi rumput laut terbesar di Dunia atau mencapai 99,8% total produksi rumput laut budidaya dunia. Pada Grafik diperlihatkan produksi budidaya rumput laut Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya
Bagaimana kesiapan Indonesia sebagai negara penghasil produksi rumput laut. Jika dibandingkan dengan Filipina. Filipina merupakan sumber bibit rumput laut Indonesia, mereka memiliki kebun bibit rumput laut, namun Indonesia, sampai sekarang kayaknya belum ada,, atau masih hitungan tangan. Padahal bibit ini sangat penting, kita tidak bisa mengandalkan petani menanam rumput laut dari F kesekiaan yang menjadi rentan penyakit.
Bahkan kita sangat kalah dengan portugal yang sudah mendata produksi rumput lautnya dengan baik, kita bisa melihat ke linklhttp://macoi.ci.uc.pt/. Disana mereka benar-benar melakukan penelitian dan pendataan rumput laut yang sangat baik, data sangat lengkap dan terin formasi dengan baik. Lebih hebat lagi Malayseia, mereka malah memiliki data rumput laut yang baik, tapi yang diceritakan rumput laut Indonesia, coba aja di googling, hebat pokonya.
Sudah kelihatan sekali data dan in formasi yang tidak ter-integral memberikan informasi dan nantinya akan menjadi penyebab terhalang-nya perkembangan rumput laut Indonesia.
Indonesia adalah negara penghasil rumput laut terbesar di Dunia, Negara Asia dan Asia Tenggara adalah negara dengan produksi rumput laut terbesar di Dunia atau mencapai 99,8% total produksi rumput laut budidaya dunia. Pada Grafik diperlihatkan produksi budidaya rumput laut Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya
Kontribution Asia and East Asia Contry on Culture Seaweed |
Bahkan kita sangat kalah dengan portugal yang sudah mendata produksi rumput lautnya dengan baik, kita bisa melihat ke linklhttp://macoi.ci.uc.pt/. Disana mereka benar-benar melakukan penelitian dan pendataan rumput laut yang sangat baik, data sangat lengkap dan terin formasi dengan baik. Lebih hebat lagi Malayseia, mereka malah memiliki data rumput laut yang baik, tapi yang diceritakan rumput laut Indonesia, coba aja di googling, hebat pokonya.
Sudah kelihatan sekali data dan in formasi yang tidak ter-integral memberikan informasi dan nantinya akan menjadi penyebab terhalang-nya perkembangan rumput laut Indonesia.
AGAR-AGAR / KANTEN /
Kanten is Japanas name for Agar-Agar. Agar is hydrocolloid or gelatinous material derived by boiling Red Seaweed e.g. Gracillaria and Gelidium.This gelatinous material is accumulate in cell wall or thallus of agarophyte.
In Oriental country like China, Japan, and Korea, Gracillaria and Gelidium is a source sea vegetable with high contain of fiber and iodin. Agar is a gel in room temperature, Why is the agar special than other gelling substance. Agar belived not only good as gelling agent but also have good benefict for body.
In Indonesia, Gracillaria is culture around jave sea (Utara Jawa), like in Brebes, Bekasi and also in Serang. The Gelidium are growth wild in. Selatan Jawa, e,g Jogja. In Indonesia agar produce with tradicional method into leaf agar (agar kertas).
In Oriental country like China, Japan, and Korea, Gracillaria and Gelidium is a source sea vegetable with high contain of fiber and iodin. Agar is a gel in room temperature, Why is the agar special than other gelling substance. Agar belived not only good as gelling agent but also have good benefict for body.
In Indonesia, Gracillaria is culture around jave sea (Utara Jawa), like in Brebes, Bekasi and also in Serang. The Gelidium are growth wild in. Selatan Jawa, e,g Jogja. In Indonesia agar produce with tradicional method into leaf agar (agar kertas).
Sun Drying Pressed Filtrat to Produce Traditional Agar |
Leaf Agar Are Being Packed |
Kitin/Kitosan, Chitin and Chitosan
Kitin dan Kitosan
Kitin adalah polisakarida struktural yang banyak ditemukan di alam, senyawa ini pertama kali diisolasi tahun 1811 oleh Brocannot dari jamur, kemudian pada tahun 1823, Odier menemukan bahwa senyawa ini merupakan bahan utuma penyusun rangka luar dari serangga dan diberi nama kitosan (Winterowd dan Sandford, 1995). Senyawa ini banyak ditemukan pada fungi dan yeast, serangga dam crustacea namun hanya yang berasal dari crustacea yang menjadi sumber utama (Rinaudo et al., 2005). Cangkang crustacea sebagai salah satu sumber utama kitin mengandung 20-30% khitin dan dan biasanya berikatan dengan bahan lain dari cangkang (Agullo et al., 2003).
2.8.1. Struktur dan sifat kitin, kitosan
Kitin merupakan polimer dengan berat molekul besar, yaitu gugusan dari 2-acetamido-2deoxy-D-glucopiranosil dengan ikatan β-(1→4) (BeMiller, 1965). Kitin memiliki struktur yang hampir sama dengan selulosa, perbedaanya terletak pada atom C2 yang berikatan dengan amin, sedangkan selulosa berikatan dengan gugus hidroksil (Bonderias et al., 2005).
Kitin secara alami ditemukan dalam tiga bentuk yaitu α, β, γ, parameter ini diuji dengan sinar X. Bentuk α dan γ kitin adalah unit yang antiparalel, serta paling banyak ditemukan di alam dan β kitin adalah struktur yang paralel (Hudson dan Jenkins, 2002). Kitin punya dua gugus hidroksil pada atom C3 dan C6 pada polimer N-asetil-g-glukosamine. Gugus OH pada C6 lebih reaktif dari C3, senyawa ini tidak larut dalam asam organik (Hirano, 2005).
Kitosan memiliki struktur linear yang terdiri dari 2-amino-2 deoxy-β-dglucopyranan (β–d-glukosaminan) yang dihubungkan dengan rantai (1→4) (Hirano, 2004). Kitosan merupakan kitin yang terdeasetilasi minimal 50 % sehingga 50% amin terbebas (Rinaudo et al., 2005). Sifat dari kitosan sangat tergantung pada derajad deasetilasi dan berat molekul. Kitosan larut dalam larutan asam organik dan membentuk kation. Gugus amin dari kitosan mempunyai pKa 6,5 sehingga membutuhkan pH di bawah 6 untuk melarutkan kitosan (Hudson dan Jenkins, 2002). Struktur kitin, kitosan ditampilkan pada Gambar 2.
2.8.2. Proses ekstraksi kitin dan kitosan
Kitin dan kitosan umunya diekstrak dari karapas udang dengan cara penghilangan protein dan mineral dengan menggunakan asam dan basa kuat, cara ini merupakan cara yang efektif dan umumnya digunakan pada dunia industri, namun metoda ini memiliki kelemahan yaitu tidak sesuai dan mampu merusak produk akhir, terutama pada peningkatan suhu saat pemanasan. Pada tahap awal perlakuan dengan basa akan memungkinkan terjadinya kondensasi aldol, sedangkan ketika perlakuan dengan asam menyebabkan pemecahan ikatan dari kitosan akibat terhidrolisisnya ikatan β-glikosidik pada rantai kitin. Sehingga cara ekstraksi kitin dan kitosan dengan pre-conditioned sangat cocok untuk mengekstraksi kitin dan kitosan (Toan et al., 2005).
Gambar 2. Struktur kimia (a) kitin, (b) kitosan (Hirano, 2005)
Tahapan ekstraksi kitin dapat dibagi ke dalam tahap pre-treatmen, demineralisasi, deproteinasi, dilanjutkan dengan tahap deasetilasi kitin untuk memperoleh kitosan
1. Pre-treatment
Pada metoda reguler (umum) tidak menggunakan tahap pre-treatmen, dimana udang langsung dilakukan tahap proteinasi atau demineralisasi dengan metode pre-conditioned karapas udang diberi perlakuan pre-treatmen dengan merendam karapas menggunakan asam benzoat 0,016 mlL-1 selama 8 jam suhu 30oC (Toan et al., 2006).
2. Demineralisasi
Jika menggunakan metode pre-conditioned tahap demineralisasi dilakukan dengan cara merendam udang yamg telah di pre-treatmen dengan menggunakan larutan HCl 0,68 molL-1 dengan perbandingan (1:5 w/v) pada suhu ruang selama 6 jam. Sedangkan jika menggunakan cara yang umum digunakan HCl dengan konsentrasi 1,1 molL-1 dan waktu perendaman 12 jam (Toan et al., 2006).
3. Deproteinasi
Pada metode pre-conditioned tahap deproteinasi dilakukan dengan cara merendam karapas udang yang telah didemineralisasi dengan menggunakan NaOH 0,62 mlL-1 pada suhu ruang selama 16 jam, sedangkan jika menggunakan metoda yang umum biasanya menggunakan NaOH 1 molL-1 selama 24 jam (Toan et al., 2006).
4. Deasetilasi
Deasetilasi kitin dilakuakn untuk memperoleh kitosan dilakukan dengan cara memanaskan kitin dalam larutan NaOH 12,5 molL-1 selama 20 jam dengan menggunakan suhu 65oC (Toan et al., 2006). Diagram alir pembuatan kitin dan kitosan ditampilkan pada Gambar 3.
2.8.3. Kegunaan kitin dan kitosan
Kitin berguna sebagai bahan utama prekusor dari kitosan, sifat unik yang dimiliki oleh kitin dan kitosan membuat aplikasi kitin dan kitosan sangat luas (Hudson dan Jelins, 2001). Aqullo et al (2003), melaporkan penggunaan kitosan dalam industri edible film, imobilitas enzim, bahan antimikroba, sebagai zat tambahan makanan (meliputi stabilitator warna, emulsifier, antioksidan, pembentuk gel), serat makanan (sebagai penyerap lemak, dialisis glukosa), sebagai astrigensi (pengendap protein air liur). Beberapa aplikasi kitin dan kitosan yang lain lebih lengkap tampilkan pada Tabel 4.
Gambar 3. Diagram alir ekstraksi kitin dan kitosan (Toan et al., 2006)
Tabel 4. Aplikasi kitin, kitosan dan turunanya
Bidang Kitin dan Kitosan Turunan
Pangan Antimikrobia
Edible film Bahan pengental
Pharmaceutical Pencegahan terhadap bakteri
Antitumor
Imune potensiator
Perban luka Pencegahan infeksi bakteri
Antitumor
Imunpotensiator
Medis Mempercepat pengeringan luka
Kulit buatan
Absorbabls sutues
Nutrisi Serat
Hypokolestremik agen Hypokolestremik agen
Penyerap kalsium
Bioteknologi Imobiliasasi sel
Poros beads bioreaktor
Resin kromotografi
Membran
Pertanian Coating bibit
Aktifator sel tanaman Aktifator sel tanaman
Lain-lain Koagulan
Penghilang logam berat
Penggabung protein
Kosmetik
Sumber : Jeon et al (1999) dalam Oshima (2002)
Rabu, 27 Juni 2012
PROSES PEMBEKUAN FILLET IKAN KURISI BALI (Pristipomoides typus) DI PT UJUNG TIMUR, SIDOARJO-JAWA TIMUR
Agusman1,
Eddy Suprayitno2
Abstrak
Ikan kurisi bali (Pristipomoides typus) termasuk jenis
ikan kekakapan yang belum termanfaatkan secara optimal dibandingkan dengan
kakap merah. Jenis ikan ini sudah terkenal di pasar domestik dan manca
negara dengan harganya yang cukup
tinggi. Permasalahan dalam pemanfaatan ikan kurisi bali ini adalah sifatnya
yang mudah rusak, oleh karena itu ikan kurisi bali biasanya diolah terlebih
dahulu dalam bentuk fillet beku.
Tahapan pengolahan fillet ikan
kurisi bali di PT Ujung Timur meliputi
tahapan penerimaan bahan baku, penimbangan gross
weight, pencucian I, penyisikan, pencucian II, pemfilletan, perapihan dan
penghilangan duri, pencucian III, pengkoreksian, pemotongan, sizing,
penimbangan aktual, pencucian IV, pencuaian V, pengemasan I, penyusunan dalam inner pan, pembekuan, glazing, pengemasan II dan pelabelan,
penyimpanan beku, stuffing.
FROZEN GOLD BAND
SNAPPER (Pristipomoides typus) FILLET
PROCESSING AT PT
UJUNG TIMUR, SIDOARJO, EAST JAVA
Agusman1, Eddy
Suprayitno2
Abstrac
Gold band snapper is include the family of
Lutjanidae fish which is not exsploration well then red snapper. The problem
of fish product, include gold band
snapper is kind the perishable food, because of that, this fish ussually
exsport in frozen fillet.
They
are several phases in processing frozen gold band snapper fillet at PT Ujung
Timur Sidoarjo. The phases are receiving raw material, gross weight, washing I,
scalling, washing II, filleting, trimming and debonning, washing III,
corection, cutting, sizing, actual weight, washing IV, washing V, packing I,
panning, freezing, glazing, packing and labelling, cold storage and stuffing.
1. Penulis,
2. Dosen pembimbing
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor
perikanan Indonesia
memiliki potensi yang cukup besar serta memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif. Potensi perikanan laut Indonesia di perkirakan sebesar 6,7
ton per tahun yang terdiri dari sumber daya perikanan di perairan Nusantara 4,4
juta ton per tahun dan perairan Zona
Ekonomi Ekslusif 2,3 juta ton pertahun
(Iqbal, 1997). Tetapi tingkat pemanfaatanya baru sekitar 65%, oleh
karena itu pemanfaatanya perlu ditingkatkan (Resosudarmo dkk., 2002). Salah satu jenis ikan yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan sebagai produk ekspor adalah kurisi bali (Pristipomoides typus).
Ikan kurisi bali merupakan jenis ikan kekakapan
(famili Lutjanidae) yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan ikan kurisi bali merupakan jenis kakap paling mahal di Singapura
dibanding jenis kakap lainnya seperti kakap merah, blambangan (Badrudin dkk., 2003).
Masalah
dalam pengolahan produk perikanan ini adalah sifatnya yang mudah rusak. Oleh
karena itu ikan kurisi bali biasanya diekspor keluar negeri dalam bentuk fillet
beku.
1.2. Tujuan
Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui proses pembekuan fillet ikan kurisi bali.
1.3. Tinjauan Pustaka
Kurisi bali
memiliki nama Internasional Job Fish (De Bruin et al.,
1995) dan Gold Band Snapper (Badrudin dkk., 2003). Ikan kurisi bali sering
digolongkan dalam jenis ikan lencam di lapangan (Marzuki dan Djamal, 1993).
Ukuran ikan kurisi bali dapat mencapai panjang
total antara 445 mm sampai 970 mm
(Karyaningsih dkk., 1993). Kurisi
bali termasuk ikan demersal dengan kedalaman 90 - 160 m, menghabiskan waktu
mencari makan dan hidup dalam grombol besar (De Bruin et
al., 1995). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kurisi bali adalah
pancing rawai dasar, bubu dan trawl dasar (Badrudin dkk., 2003).
Prinsip dasar dari pembekuan ikan adalah
mengenyahkan panas dari ikan dengan waktu yang lebih singkat sehingga ikan
tidak mengalami perubahan mutu yang berarti (Ilyas, 1993).
Pembekuan
dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu pembekuan lambat (slow freezing) dan pembekuan cepat (quick freezing). Keuntungan dalam
menggunakan pembekuan cepat antara lain mencegah pembusukan oleh bakteri,
mempertinggi produktivitas, memungkinkan penggunaan ban-ban berjalan dan
peralatan otomatis, memungkinkan pemakaian freezer
secara maksimum, bisa menghasilkan produk yang terkemas seragam dan
berpenampilan menarik serta produksi menjadi lebih tinggi. Sedangkan cara
pembekuan lambat (slow freezing)
secara umum hasilnya tidak sebaik cara pembekuan cepat (Moeljanto, 1992).
1.4. Tempat
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di PT
Ujung Timur, Sidoarjo, Jawa Timur.
II. METODOLOGI
Metode pengumpulan data dapat dibedakan menjadi dua
yaitu pengumpulan data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh kemudian
diinterprestasikan secara sistematis dengan metode deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Lokasi Perusahaan dan
Keadaan Sekitar
PT Ujung Timur dilengkapi dengan surat Izin Usaha
Pengolahan Ikan nomor 503/4007/114.005/1998 dan Surat Pengolahan Ikan nomor
503/127/118.005/2003. Perusahaan memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP)
nomor 296/PP/PB/111/8/02 sebagai persayaratan dasar untuk penerapan HACCP.
Perusahaan
pembekuan ikan PT Ujung Timur terletak di Jl Gatot
Subroto, Desa Tebel, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo-Jawa Timur. Dari kota
kabupaten, PT Ujung Timur berjarak kurang lebih 10 km. Dengan batasan wilayah, sebelah Selatan adalah Desa Karangbong; sebelah Utara dengan Desa Tebel, sebelah
Timur dengan PT Anugerah Mandiri; sebelah Barat dengan PT Umbra Parsia. PT
Ujung Timur mempunyai luas areal ± 9.800 m2 dengan luas bangunan
keseluruhan ± 8.023 m2.
Wilayah
Desa Tebel banyak terdapat perindustrian, namun industri perikanan di daerah
Tebel berupa usaha pembekuan saja, yaitu hanya
PT Ujung Timur dan pabrik pengolahan udang. Usaha perikanan skala rumah
tangga tidak berkembang di daerah sekitar Desa Tebel, hal ini disebabkan karena
jauhnya sumber bahan baku.
3.2. Sarana Produksi
Sarana
produksi yang dimiliki oleh PT Ujung
Timur meliputi fasilitas bangunan dan fasilitas produksi.
3.2.1. Fasilitas
bangunan
Luas
bangunan PT Ujung Timur secara keseluruhan kurang lebih 8023 m2, terdiri dari bangunan
utama dan bangunan penunjang. Bangunan utama meliputi kantor, unit produksi
pembekuan kakap merah (konvensional), unit produksi VAP (value added product). Sedangkan bangunan penunjang terdiri dari
ruang administrasi, bengkel, ruang ganti, musholla, koperasi, toilet, ruang
istirahat, rumah mesin dan satu unit bangunan untuk mengolah limbah.
3.2.2. Fasilitas produksi
Fasilitas produksi pembekuan ikan kurisi bali yang
dimiliki PT Ujung Timur, Sidoarjo diantaranya adalah pan pembekuan, kerajang, contac plate freezer, air blast freezer, cold storage dan sebagainya.
3.3. Poses Produksi
Proses pembekuan fillet ikan kurisi bali meliputi 21
tahap :
1. Penerimaan bahan baku
Ikan diterima
dari pemasok di ruang penerimaan bahan baku dan ikan langsung dibongkar menurut
urutan datangnya. Pembongkaran dilakukan dengan cara membuka tutup blong atau cool box kemudian dibongkar di meja
penerimaan (pembongkaran) dan dilakukan pemisahaan ikan dengan es. Sortasi
dilakukan berdasarkan standar mutu organoleptik dan memiliki berat lebih dari 1
kg per ekor. Standar mutu organoleptik bahan baku fillet ikan kurisi bali di PT
Ujung Timur disajikan dalam Tabel 1. Penerimaan bahan baku dapat dilihat pada
Lampiran.
Tabel 1.
Standar mutu bahan baku
berdasarkan organoleptik
Organoleptik
|
Spesifikasi
|
Tekstur daging
|
Tekstur daging ikan masih lemas atau kaku. Jika daging ditekan dengan
jari maka akan kembali ke bentuk semula .
|
Warna kulit
|
Warna kulit sesuai dengan spesifikasi jenis ikan, warna masih cerah.
|
Mata
|
Mata masih bening dan bola mata masih menonjol atau datar
|
Bau
|
Bau segar sesuai dengan spesifikasi jenis ikan atau berbau amis khas ikan
|
Sumber: Bagian Quality Control, PT Ujung Timur, 2003
Berdasarkan
SNI 01-2696.1-1992 tentang Persyaratan Bahan Baku Fillet Kakap Beku bahwa bahan
yang digunakan dalam pengolahan fillet kakap beku harus bersih, bebas dari
setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari dekomposisi dan pemalsuan,
bebas dari sifat alami lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan
kesehatan.
2. Penimbangan gross weight
Keranjang yang
berisi ikan dimasukkan ke ruang proses lewat pintu masuk kecil yang diberi
plastik curtain untuk dilakukan
penimbangan gross weight. Penimbangan
gross weight berguna untuk menentukan
berat total ikan
3. Pencucian I
Ikan dicuci
dengan air dingin suhu 0oC - 5oC yang mengandung klorin
20 ppm. membersihkan ikan dari sisa-sisa kotoran darah, benda asing dan
mengurangi jumlah bakteri. Pencucian dilakukan dengan cara menyiram ikan di
dalam keranjang sebanyak dua kali penyiraman.
Menurut
Moedjiharto (1987) pencucian ikan dengan air dingin yang mengandung klorin akan
menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih melekat dan juga untuk mengurangi
kandungan mikroorganisme yang ada.
Lane (1974) dalam Moedjiharto (1987) bahwa air yang
bersentuhan langsung dengan produk harus memiliki kandungan klorin maksimal
sebesar 10 ppm. Penggunaan klorin yang melebihi 10 ppm dapat menyebakan
residu klorin yang bisa merugikan
kesehatan manusia (Jenie, 1988).
4. Penyisikan
Ikan disisik
dengan alat penyisik ikan secara manual. Jika ikan ditujukan untuk fillet skinless maka ikan tidak disisiki. Ikan
di meja penyisikan diberi es dengan perbandingan 10 kg es untuk 10 kg ikan bertujuan
menghambat pertumbuhan bakteri. Menurut Bonnel (1993) untuk daerah bersuhu panas (tropis) diperlukan
es untuk mendinginkan ikan dengan perbandingan es dan ikan 1:2. Proses
penyisikan dapat dilihat pada Lampiran.
5. Pencucian II
Setelah ikan
disisiki, ikan di cuci dengan air dingin suhu 0oC - 5oC yang diberi larutan klorin 10 ppm, pencucian
dilakukan dengan cara memasukan ikan ke dalam bak pencucian yang berisi air
pencucian dan dibolak-balik beberapa kali. Kemudian diangkat dan dimasukan ke
dalam keranjang. Ikan di dalam keranjang diberi es dengan perbandingan 1:1, hal
ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang terdapat pada ikan .
Menurut
Marriot (1994) dalam Moedjiharto (1987), bahwa dengan penambahan klorin 5-10
ppm dan perlakuan suhu rendah 10oC sampai 25oC akan dapat
mereduksi jumlah bakteri hingga 99% dalam waktu 10 sampai 120 menit.
6. Pemfilletan
Ikan difillet
dengan cara disayat dari bagian belakang sirip pektoral melingkar bagian
belakang kepala, dilanjutkan dengan pemotongan dari arah belakang kepala menuju
ekor sejajar tulang belakang. Pemotongan dilanjutkan ke arah perut sehingga
sayatan daging terpisah. Untuk sisi yang satunya ikan disayat dari bagian
belakang sirip pektoral melingkar bagian belakang kepala, lalu disayat dari
bagian ekor lurus searah tulang belakang sampai ke bagian belakang kepala.
Penyayatan dilanjutkan hingga diperoleh potongan daging terpisah. Pemfilletan
dapat dilihat pada Lampiran.
7. Perapihan (trimming) dan pembuangan duri
Fillet
dirapikan dengan cara memotong sedikit daging perut dan bagian ekor. Pembuangan
duri yang terdapat di sejajar garis tulang belakang dengan menyayat tipis
daging dengan pisau tajam bentuk huruf ”V”, sayatan daging kemudian dibuang
sehingga duri terbawa dengan sayatan daging tipis. Tumpukan daging fillet di
meja perapihan (trimming) selalu
diberi es dengan perbandingan 1:1, sedangkan
fillet yang sudah dirapikan dan dibuang durinya dilanjutkan dengan pencucian.
Dengan pemberian es dapat menjaga suhu ikan mendekati
0oC (Bonnel, 1993). Pada suhu 15oC mikroba terhambat
pertumbuhanya dan pada suhu 4oC akan menyebabkan inaktif mikroba
(Winarno dan Surono, 2002)
8. Pencucian III
Fillet dicuci
dengan air dingin suhu 0oC - 5oC dengan konsentrasi
klorin 5 ppm, untuk membunuh bakteri dan mengurangi kotoran berupa sisa-sisa
sisik, darah atau berkas potongan daging. Pencucian dilakukan dengan cara
memasukan fillet kedalam bak pencucian lalu diangkat dan dimasukkan ke dalam
keranjang.
Penggunaan
klorin 5 ppm bertujuan supaya residu klorin tidak terlalu besar karena daging
telah terbuka. Penggunaan klorin yang terlalu besar dapat merugikan kesehatan
manusia (Jenie.1988).
Menurut Hadiwiyoto (1993) klorinasi 5-10 ppm mampu
mengurangi jumlah bakteri dan membunuh bakteri patogen seperti Sallmonella.
9. Koreksi
Selanjutnya
fillet diperiksa dari sisa-sisa duri atau jika masih ada fillet yang terlewat
tahap perapihan. Bagian fillet yang berkulit (skin on fillet) disisir dengan alat penyisir khusus sehingga
permukaan fillet yang berkulit terlihat rapih. Tahap koreksi dapat dilihat pada Lampiran.
10. Pemotongan
Secara umum
ada tiga jenis fillet yang dihasilkan di PT Ujung Timur yaitu natural, one cut, portion. Bentuk natural adalah bentuk fillet satu sisi ikan, one cut adalah fillet natural
yang dipotong menjadi dua bagian, sedangkan bentuk portion adalah fillet natural
yang dipotong menjadi tiga bagian. Di PT Ujung Timur fillet ikan kurisi bali biasanya dipotong
menjadi bentuk portion dan one cut .
11. Sizing
Standar size
dan berat fillet ikan kurisi bali di PT Ujung Timur disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Size dan berat fillet ikan kurisi bali
SIZE
|
BERAT FILLET (g)
|
4-6
|
112-169
|
6-8
|
170-230
|
8-10
|
231-290
|
10-12
|
291-350
|
12-14
|
351-400
|
14-16
|
401-460
|
16-20
|
461-570
|
Sumber: Bagian Produksi, PT Ujung Timur, 2003
12. Timbangan aktual
Tahap ini
sangat berguna untuk menghitung rendemen produk. Fillet ikan kurisi bali
biasanya memiliki rendemen 44% - 46%.
13. Pencucian IV
Fillet dicuci
dengan air dingin suhu 0oC - 5oC dengan konsentrasi
klorin 5 ppm. Pencucian
dilakukan dengan cara memasukkan keranjang yang berisi fillet ke dalam bak
pencucian sambil digoyang-goyang 2-3 menit lalu diangkat.
Menurut Hadiwiyoto (1993) klorinasi 5-10 ppm mampu
mengurangi jumlah bakteri dan membunuh bakteri patogen seperti Sallmonella.
14. Pencucian V
Fillet dicuci
kembali dengan air dingin suhu 0oC-5oC tanpa menggunakan
klorin, pencucian ini bertujuan untuk mereduksi residu klorin. Pencucian
dilakukan dengan cara memasukan keranjang yang berisi fillet ke dalam bak
pencucian sambil digoyang-goyang 2-3 menit. Pencucian tanpa klorin ini
bertujuan untuk menguragi residu klorin setelah pencucian IV.
Hasil
penelitian di Amerika juga menunjukan bahan kimia dari unsur organik klorin
yang disebut MX cukup beresiko menyebabkan berbagai penyakit kanker, hal ini
telah terbukti dari binatang coba yang digunakan (Anonymous, 1997 dalam Moedjiharto, 1987)
15. Pengemasan I
Fillet
dibungkus dengan meng-gunakan
plastik polietilen kerapatan rendah dengan ketebalan plastik 2,5 10-2
mm. Pembungkusan ini bertujuan supaya
fillet tidak kena karat dan mencegah dehidrasi serta oksidasi selama pembekuan.
Sebelum
fillet ikan dibekukan, fillet dikemas dengan lembaran plastik
atau kertas kaca yang mampu melindungi fillet
dari perubahan yang tidak diinginkan selama pembekuan dan penyimpanan beku
(Moeljanto, 1992). Fillet sebaiknya
dibungkus dengan plastik film (polietilen kerapatan rendah untuk mencegah penguapan produk dan oksidasi produk selama
pembekuan (Tanikawa, 1971).
Plastik
polietilen kerapatan rendah merupakan plastik yang baik terhadap penahan air,
tetapi tidak baik terhadap gas (Fellows, 1990).
16. Penyusunan dalam pan
Fillet disusun
dalam pan (inner pan) pembekuan yang
terbuat dari alumunium dengan permukaan daging fillet yang ada kulitnya di
atas. Penyusunan fillet hanya satu lapis saja, hal ini dimaksudkan agar daging
fillet beku yang dihasilkan mempunyai penampilan rapi, halus, lurus dan rata.
17. Pembekuan
Pan pembekuan
kemudian disusun di rak-rak pembekuan untuk segera dibekukan dengan air blast freezing dengan suhu –35oC
sampai -40oC selama kurang lebih 8-9 jam. refrigeran yang digunakan
adalah amoniak (NH3).
Kelebihan dari
penggunaan air blast freezing adalah
kecocokan dan keluwesannya akan produk. Tipe pembekuan ini dapat membekukan
segala macam produk, dengan deret luas dalam bentuk, mudah pengoperasianya
(Ilyas, 1993). Kelemahan dari cara pembekuan dengan air blast freezing adalah terjadinya pengeringan produk, apalagi
bila produk tidak dibungkus dan kecepatan udara cukup tinggi (Moeljanto, 1992).
Penggunaan
amoniak sebagai refrigerant mempunyai
beberapa keunggulan diantaranya murah dibanding refrigerant lainnya, mudah diperoleh, stabil, pemindahan dalam
volumetrik rendah, ringan, efisiensi tinggi. (Ilyas, 1993). Bila tejadi kebocoran
mudah diketahui, karena baunya yang sangat menusuk hidung, zat ini mudah sekali
larut dalam air sehingga tidak mengganggu mata, hidung dan paru-paru
(Moeljanto, 1992).
Menurut Syarif dan Kumendong (1992) agar produk punya
mutu yang tinggiu maka dilakukan pembekuan cepat dengan menggunakan suhu -24oC
sampai -40oC. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi keluarnya garam-garam mineral dan zat gizi lainnya
selama proses pembekuan. Disamping itu pada suhu dibawah -18oC akan
mengurangi kerusakan secara mikrobiologi (Buckle et al., 1987).
18. Glazing
Pan-pan pembekuan
dikeluarkan dari air blast freezing
dan fillet ikan kurisi bali beku
dilepas dari pan pembekuan. Di PT Ujung Timur untuk fillet ikan jenis kakap
merah, bagong dan krapu tidak dilakukan pembukaan bungkus plastik sehingga
tidak perlu dilakukan glazing. Hal
ini dilakukan karena pada pengemasan II dilakukan pengemasan vakum. Sedangkan
Fillet kurisi bali dilakukan pembukaan kemasan plastik. Fillet ditimbang
seberat 10 lbs atau 4,54 kg ditambah ekstra
weight 250 gram. Selanjutnya fillet di-glazing
dengan cara mencelupkan keranjang berisi fillet yang telah ditimbang ke dalam
air dingin suhu 0oC sampai 5oC
sambil digoyang-goyang. Setelah itu fillet ditimbang ulang, jika berat fillet
dalam keranjang sudah melebihi 5 kg baru glazing
dianggap selesai, tetapi jika berat fillet masih dibawah 5 kg dilakukan glazing ulang atau glazing fillet beku sebesar 11%.
Setelah proses pembekuan fillet dicelupkan kedalam air
dingin bersuhu lebih rendah dari 5oC
selama 3-5 menit. Pencelupan pada air dingin akan menimbulkan lapisan es tipis
yang menutupi seluruh permukaan tubuh ikan beku. Glazing memiliki keuntungan mengurangi terjadinya dehidrasi selama
penyimpanan beku, mencegah oksidasi dan memberikan penampakan yang lebih
menarik pada fillet beku (Hadiwiyoto, 1993). Tebal glazing pada fillet biasanya berkisar antara 2%-14% (Murniyati dan
Sunarman, 2000)
19. Pengemasan II dan pelabelan
Fillet yang
telah di-glazing dikemas ke dalam
plastik polietilen kerapatan tinggi dengan ketebalan 3,5 10-1
mm sebanyak 5 kg per plastik, lalu di-sealling (kemasan primer). Menurut
Fellows (1990) polietilen kerapatan tinggi merupakan plastik yang kuat, agak
kaku, memiliki permeabilitas yang lebih rendah terhadap gas dan air.
Fillet beku
dikemas lagi dalam inner carton (kemasan
sekunder). Tiap-tiap inner carton
yang berisi jenis serta ukuran filletnya sama dikemas dalam master carton (kemasan tersier), satu master
carton berisi 4 inner carton. Inner carton dan master carton diberi label sesuai jenis fillet, ukuran fillet,
berat fillet, tanggal pembekuan, kode produksi, tanggal kadaluarsa. Master carton kemudian ditutup dengan
lakban dan diikat pita plastik (strapping
band). Pemasangan pita plastik dilakukan empat kali supaya ikatannya kuat.
20. Penyimpanan beku
Produk yang
telah dikemas di susun pada gudang beku
(cold storage) yang beroperasi dengan
suhu –18oC sampai -20oC. Berdasarkan Code of Practise for Frozen Fish dalam Ilyas (1993), bagi produk
ikan beku yang akan digunakan sebagai bahan mentah bagi pengolahan selanjutnya
dianjurkan menyimpan dalam gudang beku -18oC atau lebih rendah. Suhu
penyimpanan jauh dibawah -18oC dapat memperpanjang daya simpan dari
produk beku.
Karyawan bagian produksi mencatat nomor
produksi dari tiap master carton, dan jumlah master
carton yang dimasukan ke dalam gudang beku (cold storage).
21. Stuffing
Jika volume
produk untuk ekspor sudah cukup, perusahaan melakukan ekspor. Pengeluaran
produk beku dari penyimpan beku melalui anteroom
yang memiliki pintu kecil dan berhubungan dengan luar ruang cold storage. Pada stuffing dilakukan pembongkaran dengan cepat, untuk mempercepat
perpindahan barang dibantu dengan roda berjalan (conveyor). Pada tahap ini
sebelum produk disusun dalam kontainer maka kontainer terlebih dahulu
didinginkan sampai suhu –18oC. Penyusunan produk dalam kontainer
selalu diperhatikan agar pada saat pengangkutan kerusakan produk dapat
diminimalisir.
Menurut Ilyas (1993) rantai beku (frozen chain) harus selalu dijaga. Ikan yang diekspor melalui
tahap-tahap dalam rantai beku meliputi pembekuan, pemindahan dan penyimpanan
dalam gudang, pengangkutan ke pelabuhan atau pemuatan di kapal, hingga sampai
ke konsumen, harus senantiasa berada pada tingkat suhu yang ditetapkan, -18oC
atau lebih rendah.
3.5. Sanitasi dan Higiene
Sanitasi dan higiene di PT Ujung Timur meliputi sanitasi bahan
baku dan bahan pembantu, higiene pekerja, sanitasi peralatan, sanitasi ruang
proses dan penanganan limbah.
Sanitasi
dapat diartikan sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan
atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan
penyakit. Dalam ilmu industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan
secara aseptik dalam persiapan, pengolahan dan pengemasan produk makanan,
pembersihan dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan pekerja (Jenie,
1999).
Yang dimaksud dengan sanitasi bahan baku adalah menjaga sanitasi ikan yang diterima
dari pemasok hingga akan diolah. Sanitasi bahan pembantu meliputi sanitasi dari air yang
digunakan, serta penggunaan bahan kimia klorin sebagai desinfektan. Higiene
karyawan adalah menjaga supaya karyawan
dan tindakannya tidak menjadi sumber kontaminasi terhadap produk. Sanitasi
peralatan dilakukan dengan cara membersihkan alat yang digunakan pada saat akan
memulai pekerjaan, sedang dan akhir proses produksi. Untuk sanitasi ruangan
proses, dilakukan pembersihan pada pagi
hari, siang hari saat istirahat dan pada sore hari setelah
para pekerja pulang.
Limbah yang
dihasilkan oleh PT Ujung Timur dalam bentuk padat dan cair. Limbah padat berupa jeroan dan
sisik. Limbah ini ditampung di bak sampah kemudian dibuang ketempat pembuangan
sampah akhir. Limbah cair merupakan campuran
dari darah ikan, air bekas pencucian.
Sebelum limbah dibuang ke selokan terlebih dahulu ditampung di instalasi limbah
untuk ditangani lebih lanjut.
Limbah cair
yang ditampung kemudian ditambah dengan tawas dan kuriflok, kemudian diaduk-aduk oleh mesin pengaduk. Selesai diaduk
didiamkan hingga kotoran padat mengendap di dasar bak dan air kelihatan bening.
Air dipindahkan ke bak penampungan dua dengan menggunakan pompa mesin. Pada bak
penampungan dua dilakukan pengolahan limbah secara biologi dengan cara
menambahkan serat (bakteri holder)
dan pupuk urea untuk pertumbuhan bakteri. Biasanya limbah dibiarkan 2-3 hari di
bak ini sambil diendapkan dan dialirkan keselokan.
Penanganan
limbah pengolahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa tahap meliputi
pemisahan mekanis serta fisik (penyaringan dan pengendapan), penaganan secara
kimiawi, serta penanganan secara biologi (Buckle et al., 1987).
3.4. Pengawasan Mutu
Mutu bahan
pangan dapat didefinisikan sebagai kelompok sifat, faktor-faktor atau
karateristik bahan pangan (komoditas) yang membedakan tingkat pemuas atau
aseptabilitas bahan tersebut bagi pembeli atau pengguna. Saat ini standar mutu
produk pangan tidak hanya ditetapkan dari produk akhir melainkan juga dilihat
mulai dari pengawasan bahan baku ,
cara-cara memproduksi bahan, meliputi juga aspek manajemen mutu (Syarief,
1994).
HACCP adalah satu manajemen mutu dengan pendekatan
pencegahan terhadap terjadinya kemungkian masuknya bahan cemaran yang
berbahaya, terjadinya bahaya, maupun tersebarnya bahaya dalam bahan pangan yang
dihasilkan (Mukartini, 2001).
Pengawasan mutu di PT Ujung Timur didasarkan pada
konsep Hazard Analsysis dan Critical
Control Point (HACCP) walaupun penerapannya belum efektif. Pengawasan mutu
dilakukan terhadap bahan baku, air, selama proses pengolahan dan produk akhir.
Pengawasan mutu bahan baku dilakukan uji
organoleptik (warna warna kulit, tekstur daging, penampakan mata, bau).
Disamping itu dilakukan seleksi bahan baku
berdasarkan beratnya, ikan yang memiliki berat kurang dari 1 kg akan ditolak.
Pengawasan terhadap mutu bahan
pembantu seperti air dan es dilakukan
dengan cara mengujikan air dan es ke LPPMHP Surabaya setiap enam bulan sekali.
Pengawasan mutu selama proses produksi ditetapkan empat critical control point (CCP) yaitu
pada tahap penerimaan bahan baku , pengkoreksian, pencucian V, serta tahap pengemasan II dan pelabelan. Pada
kelima tahap ini diberikan pemantauan yang lebih ketat. Critical control point merupakan suatu tahap didalam proses, dimana
bila bahaya potensial nyata tidak dikendalikan secara baik kemungkinan akan
menimbulkan resiko bahaya yang tidak bisa diterima oleh konsumen, baik
menyangkut keamanan, mutu dan kerugian ekonomi (Wiryanti dan Witjaksono, 2001). Oleh
karena itu dibutuhkan pemeriksaan yang teratur mengacu pada konsep pemantauan (monitoring) (Bonnel, 1994).
Pengawasan
produk akhir dilakukan oleh pihak intern perusahaan dan juga dilakukan
pengujian pada laboratorium pemerintahan dan swasta.
Tiap hari petugas quality control (QC) melakukan pengecekan penyusutan
berat produk, dengan sampling.
Disamping itu juga dilakukan pengecekan kebenaran jumlah keping fillet tiap inner carton berdasarkan size.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang pembekuan fillet ikan
kurisi bali beku di PT Ujung Timur,
Sidoarjo, dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya
-
Proses pembekuan fillet ikan kurisi bali di PT Ujung Timur menggunakan I.
-
Fillet terlebih dahulu dibungkus untuk
menghindari terjadinya oksidasi dan losst weight yang tinggi, sebelum
dibekukan.
-
Secara umum proses pembekuan fillet ikan kurisi bali di PT Ujung Timur
sudah cukup baik .
-
Pengujian kualitas fillet kurisi bali beku secara
mikrobiologi dan kimiawi disajikan dalam Table 3.
Tabel 3. Kualitas fillet kurisi
bali beku
Pengujian
|
Hasil
|
S. aureus
|
<10
|
Shigella
|
Negatif
|
Colifom
|
9 APM/ml
|
TVB
|
13.68 mg/100
|
Chloramphenicol
|
Not detected
|
Timbal
(Pb)
|
0,223 mg/kg
|
Cadmium
(Cd)
|
0,046 mg/kg
|
Furazolidone
|
Not detected
|
4.2. Saran
Untuk meningkatakan nilai jual dari produk fillet
kurisi bali maka perusahaan harus selalu menjaga mutu dari produk yang
dihasilkan dengan cara melaksanakan manajemen mutu terpadu secara menyeluruh
dan sebaik mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1992. SNI 01-2696.1
Persyaratan Bahan Baku Fillet Kakap Beku. BSN. Jakarta.
Badrudin, B., Sumiono dan E. Rahmat. 2003. Kakap Merah, Jenis-jenis dan Identifikasi Genera. Penebar Swadaya. Jakarta .
Banks, A., A. John., A. Dassow.,
A. Ernest., A. Feiger., F. Arthur., Novak., J.A. Peters., W. Joseph., W.
Slawn and J.J. Waterman. 1977. Freezing
fish dalam Fundamentals of Food
Freezing. Desrosier, W.N and D. K. Tresler (Eds). AVI Publishing Company,
INC. Westport , Connecticut .
Bonnel. A.D. 1994. Quality
Assurance in Seafood Processing. A Pratical and Guide. Chapman & Hall.
United State.
Buckle, K.A., R.A Edwards., G.H Fleet and M. Wootoon. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo H dan Adiono
(Penerjemah). UI Press. Jakarta .
De Bruin, G.H.P., B.C. Russel and A. Bogousch., 1995. FAO Species Identification Field Guide for
Fisheries Purpose. The Marine Fisheries Resources of Sri Lanka .
Roma.
Fellows, P. 1990. Food
Processing Technology Principles and Practices. Ellis Horswood. England
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi
Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Liberty. Yogyakarta.
Ilyas, S. 1993. Teknologi
Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid II. CV Paripurna. Jakarta.
Iqbal, I.M. 1997. Prospek dan
peluang pengembangan produksi perikanan Indonesia. Bulletin Warta Mina No. 89
Tahun X. Departemen Pertanian. Jakarta.
Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi
Dalam Industri Pangan. Pusat Antar Universitas dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor.
___________. 1999. Sanitasi dan higiene pada pengolahan pangan dalam Pelatihan Pengendalian
Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Karyaningsih, S., S. Marzuki dan
R. Djamal. 1993. Beberapa aspek
biologi jenis ikan kekakapan laut dalam (Pristipomoides
typus) di perairan Timor Timur dan sekitarnya.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No 78/1993.
Marzuki, S
dan R. Djamal. 1993. Pendugaan potensi
dan tingkat eksploitasi sumber daya kakap dan jenisnya (Lutjanidae) di perairan
Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No 78/1993.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan
Pengolahan Hasil Perikanan. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Moedjiharto, T.J. 1987. Teknologi
Pembekuan Bekutak (Sephia spp).
Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya
Murniyati A.S dan Surnaman. 2000. Pedinginan,
Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius. Jakarta
Resosudamo, B.P., D.
Hartono., T. Ahmad., N.I.L. Subiman., Olivia dan A. Noegroho. 2002. Analisis penentuan sektor prioritas di
kelautan dan perikanan Indonesia. Jurnal Pesisir dan Laut Volume 4 No.3, 2002.
Syarif, R. 1994. Standar mutu, teknologi pengemasan dan
label makanan dalam Kumpulan Makalah Rizal Syarief. Jurusan Teknologi Pangan dan
Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
_____ dan J.
Kumendong. 1992. Petunjuk Laboratorium
Penyimpanan Dingin. PAU Gizi dan Pangan. IPB. Bogor.
Tanikawa, E. 1971. Marine Product in Japan . Koseisha-Koseikakaku
Company. Tokyo .
Winarno F.G dan Surono.
2002. HACCP dan Penerapan dalam Industri
Pangan. M-Brio press. Bogor .
Wiryanti J dan H Witjaksono.
2001. Konsepsi HACCP. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor . (Tidak dipublikasi).
Langganan:
Postingan (Atom)